Kesepian: Ketika Malam menjadi Lebih Panjang dari Biasanya..




Apa yang kamu lakukan ketika perasaan kesepian melanda? 
Apa yang kamu pikirkan ketika perasaan kesepian itu datang?
Apakah kamu mengatasinya--atau membiarkannya pergi dengan sendirinya?

Tulisan ini bukan berasal dari seseorang yang pakar di bidang psikologi dan kejiwaan--tidak. Tetapi tulisan ini datang dari isi hati dan pemikiranku saja. Sebuah hal yang sudah lama ingin aku sharingkan.

Suatu malam di bulan Maret ini, aku memutuskan untuk melepaskan banyak hal. Beberapa perasaan, pemikiran atau bahkan kepemilikan. Alasannya simply karena, aku lelah.. Aku menemukan banyak hal yang seharusnya tidak mengagetkan--tetapi ternyata sangat membuatku sedih. Dari perasaan yang tidak terbalas, tidak dianggap penting ketika aku sudah memberi yang terbaik, tidak bisa fit in dengan beberapa kondisi dan lingkungan relasi, disalah-pahami dan direspon dengan interpretasi yang berbeda dari maksudku yang sebenarnya, keberadaanku is taken for granted, sampai pekerjaan yang tidak jadi kudapat setelah sangat berharap untuk bisa mendapatkannya. 

Mungkin, masih banyak lagi, tetapi aku tidak bisa mengingatnya dengan baik. 

Maka, di sinilah kesepian melanda. Loneliness dan being alone adalah dua hal yang berbeda. Ketika engkau sendiri, engkau tidak akan otomatis kesepian. Pun begitu ketika engkau berada pada keramaian; engkau bahkan masih bisa merasakan kesepian itu.

Perasaan kesepian sangat tidak mengenal waktu dan tempat. Ia adalah akumulasi dari segala luka (baik yang disadari atau tidak), rasa lelah (baik fisik maupun hati), serta kejadian-kejadian yang tidak sesuai ekspetasi yang kemudian membelenggu hati, jiwa dan pikiran kita. Bahkan tidak mungkin, raga kita juga. Ada banyak tindakan atau output yang dihasilkan ketika orang merasa kesepian. Yang paling umum adalah menangis. Mungkin ada juga yang mencoba mengalihkan dengan kegiatan lain, mencoba tertawa, meramaikan diri dengan kolega-koleganya, atau mungkin ada yang menyakiti dirinya sendiri. Itu semua hanyalah akibat, kesepianpun sebenarnya adalah akibat.

Ada sebab mengapa orang bisa kesepian. Namun terkadang, ketika kesepian melanda, kita tidak mampu melihat dan mencari tahu penyebab itu.

Saat engkau kesepian, apa hal pertama yang kau pikirkan dan rasakan?

Banyak orang--dan aku sendiripun juga pernah--mencoba menasihati orang-orang yang mengaku kesepian ini dengan berbagai cara, salah satu yang paling umum adalah untuk mengingat orang-orang di sekitarnya yang memedulikan keberadaannya. Atau, dengan mengingat-ingat tiap devotional dan ayat-ayat kitab suci yang menguatkan.

Nyatanya, ketika engkau kesepian, engkau tidak mampu melihatnya. Atau bahkan, tidak mau melihatnya. Aku menyadari sampai beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku terduduk sendirian di kursi ruang keluargaku, dengan lampu yang sudah kumatikan, dan kemudian menangis.

Apakah aku ingat dengan tiap ayat Alkitab yang sudah kupelajari sejak kecil? Tidak.
Apakah aku ingat dengan ayat saat teduhku pagi itu? Tidak.
Apakah aku ingat dengan khotbah yang disampaikan oleh para pendeta atau kakak rohani mengenai cara mengatasi pikiran jahat? Tidak. 
Apakah aku ingat dengan orang-orang di sekitarku? Sahabat-sahabatku? Hampir tidak.
Apakah aku ingat dengan setiap kesibukan, pekerjaan dan pelayanan yang membutuhkan peranku? Tidak sama sekali. 
Apakah aku ingat dengan kata-kata motivasi yang kutemukan di sosial media? Tidak.
Apakah aku ingat dengan tiap kata-kata pujian yang kuterima? Tidak.
Apakah aku ingat segala lagu pujian rohani yang menguatkan? Mungkin, tidak.
Apakah aku dapat mengingat kebaikan Tuhan yang sudah Ia kerjakan dalam hidupku secara pribadi? Sialnya, tidak juga. 

Bahkan aku hampir tidak ingat dengan alasan mengapa aku harus lahir di dunia ini. Aku merasa sendiri, aku merasa tidak diinginkan. Aku merasa tidak layak untuk mendapatkan hal-hal yang baik. Aku merasa telah menjadi pengganggu di kehidupan orang lain. Aku tidak sanggup menghubungi siapapun--bahkan tidak bisa memikirkan siapapun untuk kuajak bicara. Aku merasa akan menjadi beban saja.

Aku merasa hanya menjadi figuran, sehingga tidak penting untuk dilihat dan didengar.

Perlu diketahui, mungkin engkau tidak percaya dengan hal-hal yang tidak ada wujudnya secara materi. Tetapi, perasaan itu ada dan nyata, serta mematikan. Betul-betul mematikan dan menyesakkan, sampai dalam beberapa tahap, ada orang-orang yang berharap untuk mati saja daripada harus merasakan perasaan kesepian ini.

Jadi, aku membiarkan diriku menangis, sampai setidaknya, ada kelegaan di situ dan sampai mataku lelah untuk mengeluarkan air mata.

Di tengah kekalutanku itu, hanya satu--dan cukup satu--hal yang kuingat. Nampaknya, pikiran dan jiwaku sudah merekamnya dengan baik, sehingga ketika aku berada pada titik terendahku, aku dapat tetap mengingatnya. Dan hal itu sangat cukup untuk membuatku bertahan dan mengatasi rasa kesepianku. 

Aku ingat tentang peristiwa penyaliban Kristus. 
Aku ingat tentang kepala-Nya yang dimahkotai duri. Aku sempat bertanya-tanya, mengapa Ia harus memakainya? Ya, mungkin untuk memperolokNya. Tetapi kupikir, ada maksud dan tujuan lain yang lebih dalam dari itu. 
Dan akupun ingat juga, dengan murid-muridNya (kecuali Yohanes) yang tidak ada bersamaNya ketika kematianNya. Akupun juga heran, mengapa hal itu harus Ia alami? Meskipun kenyataan itu terlihat wajar karena murid-muridNya juga takut dihukum, tetapi aku berpikir, ada maksud lebih dalam juga dibalik momen itu. 

Ketika aku mengingat ini, otakku otomatis mengingatkanku akan sepenggal ayat Alkitab yang membuka pemikiranku. "Ia adalah Imam Besar Agung yang turut merasakan kelemahan-kelemahan kita". Mengapa Ia perlu merasakan kelemahan kita?

Jawabannya sederhana: karena Ia mengasihi kita.
Ketika disalib, Kristus menjalankan peranNya sebagai manusia yang penuh kelemahan. Mungkin sebagian dari kita berpikir, "Kan dia Tuhan, ya wajar kalau Dia kuat, wajar kalau Dia Maha Pengampun". Tetapi ketika Ia disalib, Ia tidak sedang menggunakan power-Nya sebagai Tuhan. Ia tidak mencegah diriNya untuk disalib. Ia membiarkan diriNya disiksa, dicaci maki, diludahi, bahkan sampai disalibkan. Ia tidak memerintahkan bala tentara Sorga untuk menolongNya. Tidak sama sekali. Semua Ia lakukan dalam kemanusiaanNya.

Maka, ayat mengenai Ia turut merasakan kelemahan kita menjadi masuk akal. Ia harus merasakan semua kelemahan kita sebagai manusia, supaya kemudian Ia dapat membebaskan kita dari dosa dan memberi hidup bagi kita. 
Ia harus disiksa sampai kulitnya terkelupas, untuk merasakan kesakitan orang-orang percaya yang dianiaya. Atau untuk merasakan sakitnya memiliki penyakit dalam tubuh manusia, baik itu penyakit dalam atau luar.
Ia harus dicaci maki, untuk merasakan kepedihan orang-orang percaya yang mencoba hidup kudus tetapi diejek dan dijauhi.
Ia harus memikul salibNya, untuk memberi teladan bagi kita untuk taat dalam menjalani hidup sebagai orang percaya sampai mati.
Ia harus dimahkotai duri, untuk merasakan sakitnya orang-orang yang memiliki penyakit kejiwaan, atau yang mengalami depresi, kecemasan, dan hal lain yang membuat pikiran kita bergejolak.
Ia harus dipaku di tangan, untuk merasakan sakitnya orang-orang yang menyakiti dirinya sendiri (self-harm) sambil ingin menyampaikan, bahwa perbuatan yang demikian itupun menyakiti diriNya

Dan ya, Iapun merasakan kesepian yang lebih mengerikan dari siapapun. Murid-muridNya yang Ia kasihi--yang berjanji akan selalu menyertai Dia, meninggalkannya. Orang-orang yang sebelumnya mengelu-elukan Dia, dengan mudahnya membalikkan punggung meninggalkanNya diam saja ketika Ia harus disalib bahkan ikut mencaci maki. BangsaNya dan pemerintah Roma saat itu juga menolakNya. Sampai Ia kemudian menjerit, Eloi Eloi, lama sabakhtani?, yang artinya, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?"

Aku kemudian teringat pada satu buku yang membahas perkataan Kristus itu. Saat itu, Kristus berada dalam tahap tertinggi dari kesepian, karena Allah Bapa-pun juga meninggalkanNya. Hanya pada saat itulah Bapa benar-benar meninggalkan manusia--Ia harus melakukanNya sebagai bentuk hukuman kepada terdakwa, Yesus--dan betapa luar biasa sakitnya ketika manusia ditinggalkan Bapa. Aku bisa merasakan betapa sakitnya Kristus saat itu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga hati dan jiwaNya. Ia sendirian, menanggung semuanya juga sendiri. Tetapi satu yang dapat dipelajari: karena karya penyaliban Kristus yang sempurna itu, kita tidak harus merasakan kesendirian itu. Ketika kita merasa sendiri atau kesepian, kita sebenarnya tidak benar-benar dibiarkan sendiri. Ada Kristus yang selalu menyertai kita. Ada Kristus yang tidak akan membiarkan kita sendiri.

Fakta itu, membuatku kembali menangis, namun kali ini, tangisan ucapan syukur. Aku meminta ampun di hadapanNya karena mengabaikan kehadiranNya.

Satu-persatu, pikiranku terbuka. Aku mulai mengingat lagi, tentang pendalaman Alkitab yang kulakukan untuk mengatasi kesepian, yaitu dari kisah Paulus di dalam penjara sebelum ia dihukum mati. Paulus menulis surat terakhir dan meminta beberapa hal, seperti meminta Markus untuk datang mengunjunginya, dan untuk membawakan jubah dan kitab-kitabnya (2 Timotius 4: 6-22). Waktu itu aku belajar, Paulus yang adalah seorang rasul Kristus saja ternyata juga pernah merasakan kesepian.
Ia meminta seorang kawan untuk hadir baginya di saat terakhirnya, karena kehadiran sahabat juga merupakan bagian dari penghiburannya. Jubah menggambarkan kebutuhannya supaya ia tidak kedinginan. Kitab-kitab dapat menolongnya mengisi waktu.

Tidak hanya Paulus, ada Elia, salah satu nabi besar di Alkitab. Tapi nyatanya, ia sendiri juga pernah merasakan kesepian dan ketakutan yang luar biasa (2 Raja-Raja 19:1-21). Saat itu ia diancam akan dibunuh dan sangat ketakutan. Ia bahkan sampai berharap untuk mati saja. See, bahkan seorang nabi saja bisa mempunyai suicidal thought seperti itu. Tetapi akupun belajar, bagaimana Tuhan begitu lembut menolong Elia. Ia diberi waktu untuk tidur, kemudian disediakan makanan, diberi waktu tidur lagi, dan diberi makanan dan minuman sehingga kemudian kekuatan Elia pulih kembali. Tidur dan makan adalah dua hal yang sangat Elia butuhkan waktu itu setelah menempuh jalan pelarian yang panjang, dan Tuhan memberi tepat seperti apa yang Elia butuhkan. Tuhan memperhatikan Elia sampai hal yang paling sederhana dan praktis.

Diikuti dengan tokoh besar Alkitab yang lain, yaitu Daud, yang terkenal dengan doanya yang sangat menyentuh jiwa. Hari itu, aku kemudian juga membuka Mazmur 13. Aku melafal ayat per ayat, dalam air mata, menyelami tiap kata dalam perikop tersebut sebagai doaku juga kepada Allah.

Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus?
Berapa lama lagi Kausembunyikan wajahMu terhadap aku?
//
Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati,
supaya musuhku jangan berkata: "Aku telah mengalahkan dia,"
dan lawan-lawanku bersorak apabila aku goyah
//
Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya..

Aku menginterpretasikan "lawan" dari Mazmur 13 ini sebagai pemikiran jahat yang membelengguku. Aku tidak mau membiarkan diriku jatuh lebih dalam pada perasaan yang makin menjauhkanku dari damai sejahtera Allah.

Aku ingat lagi, bagaimana Tuhan begitu baik dalam hidupku. Aku juga teringat lagi, dengan orang-orang yang masih menganggapku ada dan menyayangiku. Aku mengingat keluargaku yang kusayangi. Aku mengingat lagi, panggilan dan tujuan hidupku--yang sudah ditetapkan oleh Tuhan untuk kukerjakan. 

Aku ingat, bahwa Ia adalah Allah yang setia dan tidak pernah berubah dari dulu sampai selamanya. Dan kasihNya pun sudah Ia buktikan melalui berbagai cara.

Terkadang ketika kesepian datang, ia tidak begitu saja dapat diusir. 
Ada proses yang perlu dilalui untuk mengatasi dan menghadapinya. Aku tipe orang yang lebih suka menghadapinya sesuai dengan ekspresi yang ada di hatiku, daripada sekadar mengabaikannya dan mengenyahkannya--menganggap seolah-olah tidak ada. Aku mengambil waktu untuk berdiam diri, menangis, dan bicara pada jiwaku sendiri. Bicara pada jiwa, kata John Ortberg, dapat berujung pada doa kepada Tuhan dengan pertolongan Roh Kudus.

Kita perlu hati-hati, karena hati kita ini penuh dengan kelemahan. Ia gampang sekali dipermainkan oleh Iblis. Termasuk ketika kesepian melanda. Kadang, kita cenderung membangun asumsi-asumsi serta pemikiran yang belum tentu sesuai realita. 

Kesepian adalah realitas. Tetapi over-thinking atau asumsi-asumsi dari pikiran kita, belum tentu adalah realitas. Asumsi ini merupakan jebakan Iblis untuk kita makin jatuh dalam depresi dan akhirnya--dosa. Seperti asumsi-asumsi yang telah kutulis di atas, bisa jadi, semuanya belum tentu benar. Bahkan asumsi itu, bisa membahayakan diri kita. Dia bisa menjadi filter dalam pemikiran kita. Kita kemudian memandang realita kehidupan sesuai dengan asumsi yang kita bangun sendiri. Contoh, ketika kita percaya kita tidak layak bahagia, maka kita akan jadi berpikir bahwa semua hal merupakan kesialan dan kegagalan. Ketika kita percaya bahwa semua orang meninggalkan kita, kita jadi skeptis dengan pertolongan orang lain, atau skeptis dengan konsep pertemanan karena merasa hanya dimanfaatkan. Dan lain sebagainya. 

John Ortberg menuliskan, "Pemutus hubungan (kita dengan Allah, selain dosa) yang lain dapat disebut 'gagasan yang meresahkan'. ... . Bentuknya tidak selalu dosa. Ini semata-mata cara berpikir yang tidak memperhitungkan keberadaan Allah. Misalnya, Anda membuka laporan keuangan investasi dana pensiun dan melihat bahwa alih-alih memperoleh keuntungan, dana Anda berkurang beberapa ratus dolar. Memang cukup beralasan untuk prihatin, namun Anda lalu mulai memikirkan serangkaian gagasan yang benar-benar menyita perhatian Anda: Apakah dana saya akan cukup untuk pensiun? Dengan memikirkan gagasan-gagasan itu, Anda membiarkan sesuatu mendesak Allah keluar dari kehidupan kita". Jadi, respon kita terhadap suatu kejadianpun juga memiliki peran yang aktif untuk mengendalikan asumsi-asumsi yang tidak tepat dan yang makin menjauhkan diri kita dari Allah.

Kesepian juga bukan berarti kita sedang kesurupan, tapi hal itu bisa jadi jalan masuk Iblis untuk mengendalikan bagaimana kita hidup. Setiap manusia--aku ulangi--setiap manusia dapat mengalaminya. Entah engkau adalah seorang nabi besar, pendeta, aktivis gereja, atau orang dengan keluarga yang harmonis, punya banyak teman, punya banyak uang, punya pekerjaan yang tetap, dan lain-lain. Kaya atau tidak, sibuk atau tidak, terluka atau tidak, baik-baik saja atau tidak, sendiri atau tidak--kita semua bisa mengalaminya. 

Clark Moustakar dalam bukunya "Loneliness" berkata, "Kesepian adalah suatu pengalaman manusia yang memungkinkan seseorang menahan, mengembangkan, memperdalam kemanusiaannya. Manusia selalu, bahkan akhirnya berada dalam kesepian, entah kesepiannya itu karena kepedihan hati yang disebabkan hidup dalam pengasingan atau menderita penyakit; perasaan kehilangan karena kematian orang yang sangat dikasihi, atau adanya sukacita yang luar biasa yang dialami dalam ciptaan yang agung. Menurut saya, setiap orang perlu mengenali kesepiannya, menyadarinya secara mendalam, sampai akhirnya ternyata dalam setiap ototnya sesungguhnya ia betul-betul sendiri."

Kesepian bukanlah suatu hal yang "tidak rohani". Ia tetaplah suatu realitas yang perlu dihadapi dengan bijaksana. Ada tindakan nyata yang harus diaplikasikan sebagai tindak lanjut, alih-alih hanya mengabaikan atau menganggapnya bisa berakhir sendiri. Ia adalah masalah yang harus dijawab, tetapi juga sekaligus perasaan yang perlu diakui dan diekspresikan dengan tepat supaya ada kelegaan. 

John Stott menuliskan, "Bagaimana Paulus bereaksi terhadap situasi kesepian ini? Ia merindukan teman-teman untuk menghiburnya, Paulus merindukan Timotius. Walaupun Tuhan berada dekat dengan Paulus dan menguatkan dia, walaupun Tuhan selalu berada dekat dengan kita dan menguatkan kita, tidak berarti kita boleh meremehkan hal-hal yang dapat membantu kita. Bila roh kita kesepian, kita butuh teman. Bila tubuh kita kedinginan, kita perlu pakaian. Bila pikiran kita jemu, kita membutuhkan buku-buku. Semuanya ini bukan tidak rohani. Semuanya merupakan kebutuhan wajar dan alamiah dari seorang manusia biasa yang lemah dan fana. Jangan kesampingkan hal-hal ini. Janganlah menjadi begitu rohani atau super rohani sehingga Anda mengatakan tidak lagi membutuhkan teman. Bila Anda melebih-lebihkan hidup rohani berarti Anda juga melebihkan 'Alkitab'" (God's Men from All Nations to All Nations).

Kita perlu mengenali titik kesepian kita masing-masing.
Ini penting, supaya kita dapat menghadapinya dengan bijaksana dan tidak terjerumus dalam asumsi-asumsi palsu dan tidak tepat, yang memengaruhi cara kita hidup. Tiap orang memiliki pemicu yang berbeda-beda.
Bisa berawal dari luka atau trauma, yang tidak kita sadari bahwa ia ada, atau yang kita sadari ada tetapi mungkin kita biarkan tanpa ada penanganan. Atau luka yang kita pikir sudah sembuh, tetapi ternyata belum kering benar. Luka ini datang dari suatu peristiwa yang menyakitkan.
Bisa berawal dari kekecewaan atas ekspetasi kita sendiri.
Bisa dipicu oleh kehilangan, baik kehilangan orang, barang, atau apapun.
Bisa muncul karena respon atas suatu peristiwa pedih yang menghancurkan hati kita.
Atau karena keterasingan oleh karena kondisi tertentu, seperti sakit, perbedaan identitas (tidak bisa fit in dengan lingkungan), atau ketertinggalan karena pencapaian orang-orang di sekitar kita.
Sangat beragam, dan bisa jadi saling bercampur satu sama lain.

Memang, untuk menemukannya akan sangat membutuhkan waktu yang lama dan waktu berdiam yang berkualitas. Mungkin, kita bisa mengawalinya dengan sebab-sebab yang mudah untuk diidentifikasi. Semisal, yang memicuku untuk merasa kesepian beberapa diantaranya ialah ketika melihat temanku memiliki circle pertemanan sendiri dan melihat postingan teman-teman di sosial media. Dari situ, aku baru bisa memikirkan tindak lanjutnya. Ternyata, permasalahannya ialah bagaimana aku melihat sosial media, maka aku akan membatasi waktuku untuk bermain sosial media. Atau lebih dalam, aku merasa kesepian oleh karena kehilangan Ayahku yang meninggal. Aku harus memikirkan cara untuk menerima fakta itu dan mencari figur Ayah yang lain. Figur itu akhirnya kudapatkan dalam Tuhan sendiri, dan ibuku. Ketika kita aware dengan hal-hal yang membuat kita tertekan dalam kesepian, maka kita bisa lebih bijaksana untuk menghindarinya.

Memang, ketika kita merasa kesepian, memang tidak mudah untuk mengingat segala yang baik, bahkan mengingat Tuhan yang baik dan yang selalu menyertai kita. Namun bukan berarti, hal itu mustahil untuk diusahakan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kesepian itu.
  1. Berkaca dari pengalamanku, aku meyakini bahwa sebenarnya aku tidak begitu saja dapat mengingat Kristus Sang Imam Besar yang turut merasakan kelemahanku. Tetapi, ingatan itu bisa ada karena hal itulah yang selalu kutanam ke dalam pemikiranku setiap hari. Jadi, sangat penting menyeleksi hal-hal yang kita ijinkan masuk ke pemikiran dan hati kita. Kita membutuhkan satu pegangan dan keyakinan yang dapat menolong kita untuk tetap hidup. Dalam pengalaman pribadiku, penyaliban Kristus menjadi satu hal yang meyakinkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup. Isilah hari-harimu dengan Firman Tuhan sampai itu mengakar sampai alam bawah sadarmu. 
  2. Ambillah waktu untuk betul-betul mengekspresikan semua perasaan, baik dengan menangis, menulis, membuat karya, atau bermain musik--apapun. Bahkan lebih baik lagi, kita dapat mengubahnya menjadi percakapan dengan jiwa, dan kemudian menjadi percakapan dengan Roh Kudus. Kalau kita sudah tidak sanggup berkata-kata, yang kuyakini, Allah Roh Kudus pastinya juga mampu melihat sampai kedalaman hati kita dan dapat menjawab sesuai dengan apa yang kita butuhkan, tidak hanya yang kita inginkan (Mazmur 139:1-12). 
  3. Nyanyikanlah kidung atau pujian kepada Allah. Penyembahan dan ucapan syukur (praise and worship) bisa menjadi cara untuk melegakan hati kita. Natur kita adalah bersekutu dengan Allah. Carilah Allah dengan segenap hati dan jiwa, pandanglah kepadaNya. Ia mengetahui hati kita yang hancur, pikiran kita yang tidak tenang, bahkan kesakitan yang kita alami. Serahkanlah semuanya kepadaNya (Mazmur 103:1-14). 
  4. Hubungilah kawan-kawan, saudara atau siapapun yang kita percayai--orang-orang yang tidak akan menghakimi kita atas kesepian yang melanda kita. Terkadang, kita membutuhkan orang lain untuk mengingatkan, menasihati dan menguatkan kita. Dan bukan tidak mungkin, menegur kita juga untuk tidak jatuh dalam asumsi-asumsi palsu dari pemikiran kita sendiri. Kita membutuhkan sebuah dukungan dan penghiburan yang nyata dari sesama kita. Aku percaya, bahwa merekapun juga bisa menjadi cara Allah untuk menolong kita mengatasi kesepian kita. 
  5. Fokuslah untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Kalau kita butuh waktu untuk sendiri, ambillah. Kalau kita butuh tidur, tidurlah. Ketika kita lapar, kita perlu makan. Aku ingat ketika sahabatku menyodorkan tisu sambil memeluk bahuku. Tanpa sepatah kata, ia hanya menderngarkanku menangis sampai tenang. Di lain waktu, ada sahabatku yang membawaku ke warung untuk makan karena aku sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menangis dan kelelahan. Akupun pernah memberikan buku untuk menjawab kegelisahan temanku. Sama seperti Elia yang dibiarkan tidur dan diberi makan oleh Allah, istirahat cukup serta makan makanan yang bergizi dan teratur akan memulihkan tenaga.
  6. Hindarilah hal-hal yang dapat memicu hadirnya perasaan kesepian itu. Kesepian bisa hadir karena ada kesempatan yang kita biarkan muncul. Kita bisa mengendalikannya, setidaknya pada hal-hal yang masih berada dalam kuasa kita. Seperti, sosial media yang berpotensi membuat kita iri atau cemburu terhadap orang lain. Kita juga dapat mengambil tindakan untuk mengatasinya, misal membatasi diri membuka sosial media. Belajarlah untuk merespon segala sesuatu dengan tenang dan hikmat. Ambil juga waktu untuk berolah raga, bertemu sahabat, menyiram tanaman, bermain dengan peliharaan, hang out dengan keluarga, dan lain-lain. Isilah waktu dengan produktif, tetapi juga ambil waktu untuk beristirahat cukup. 
  7. Ada baiknya, ketika kita mulai merasa kesepian, tulislah semua yang kita rasakan dalam sebuah buku atau kertas. Kemudian, konfirmasikanlah semua hal itu. Misal, kita merasa sahabat kita meninggalkan kita. Beranikanlah diri kita untuk bertanya pada sahabat kita sendiri, apakah betul demikian. Mintalah sahabat kita itu untuk menyatakan pendapatnya tentang pemikiran kita. Aku pribadi sebagai seorang melankolis, sangat rentan dengan pemikiran negatif yang mengkonsumsi kesadaranku. Cara lain yang bisa kuambil adalah, aku menghindari begadang, karena malam hari adalah waktu-waktu yang rentan bagikut untuk berpikiran negatif. 
  8. Ambil waktu yang serius juga untuk melihat ke dalam jiwa kita lebih dalam, apakah ada luka dan trauma yang perlu diselesaikan. Kalau perlu, mintalah pertolongan pada orang-orang yang profesional di bidang tersebut. Misal: Kesepian oleh karena kehilangan figur salah satu orang tua? Alih-alih berpacaran untuk mendapat perhatian yang kurang tepat, ambillah waktu untuk menyembuhkan rasa kehilangan kita dulu. Kesepian karena patah hati? Jangan asal menjadi sibuk; ambillah waktu untuk deal with it sampai kita benar-benar bisa let it go. Kita perlu ingat, luka sekecil apapun dapat berakibat fatal, sehingga perlu diambil tindakan penanganan yang serius. Jangan biarkan itu makin membesar dan membebani hidup kita sampai masa tua kita.
  9. Catatlah segala hal baik yang Tuhan kerjakan dan yang terjadi dalam hidup kita. Buka dan bacalah itu semua ketika kesepian melanda. Memang lebih mudah mengingat hal-hal buruk yang terjadi di hidup kita, maka dari itu, bantulah diri kita dengan mencatat segala yang baik. Hal itu dapat menjadi tugu peringatan bagi kita, bahwa hidup kita tidak benar-benar ditinggalkan sendiri, dan bahwa hidup kita berada dalam rancangan Allah yang baik. Tulislah juga orang-orang yang berperan penting dalam hidupmu, ambillah waktu untuk bersykur atas kehadiran mereka dalam hidup kita.
  10. Dan masih banyak lagi..

Pada akhirnya, ketika kesepian melanda, malam yang kita lalui nampaknya menjadi lebih panjang dan menyesakkan. Akupun berhasil melalui kesepianku kala itu. Aku bersyukur karena Ia menjawab doaku, mendengar tangisku, dan juga mengirimkan sahabat yang juga mau mendengarku. Ketika pikiranku sudah kembali jernih, aku baru dapat mengambil tindakan yang tepat. Aku harus terus melatih diriku untuk dapat melawan pemikiran negatif yang memicu rasa kesepian itu. Kekuatan yang Allah tempatkan di dalam jiwa harus berkuasa atas emosi kita. 

Mazmur 1 mengatakan bahwa berbahagialah orang yang seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buah pada musimnya, dan yang daunnya tidak layu; apa saja yang mereka perbuat berhasil. Jika pohon ditanam di tepi aliran air, maka ia tidak lagi bergantung pada ketidakpastian cuaca atau permukaan tanah.

Malam-malam yang penuh kesepian tidak pernah tinggal selamanya, ia akan berakhir juga. Pandanglah kepadaNya, yang mampu menyegarkan jiwa kita dan membebaskan kita dari kesepian dan kepedihan yang membelenggu. Ia membalut hati kita yang terluka, Ia merasakan kelemahan kita, dan Ia tidak pernah meninggalkan kita sendiri.

We will secure in His embrace.


N.B.: Ada dua lagu yang sangat kurekomendasikan untuk didengar kala kesepian mungkin melanda. Selamat mendengarkan!


Audrey Assad - Drawn to You



Audrey Assad - I Shall not Want

Comments

  1. AWESOME, maybe suatu saat bikin buku sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you, terima kasih ya sudah mau berkunjung, Blessy! Berharap kita bisa berinteraksi lebih dalam melalui tulisan-tulisanku di blog ini. God bless!

      Delete
  2. Makasih mbak mim sudah menjadi bagian menyuarakan hati dan kebenaran. Kembali diingatkan memperhatikan jiwa memang hal yg sangat penting :).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ya Jenny! Semoga bisa terus memberkatimu dan menolongmu untuk makin memperhatikan jiwamu lebih dalam. God bless!

      Delete

Post a Comment

Popular Posts